Sudah tiga hari ini kelas sepi tanpa Bu Siti. Bu Siti yang sederhana itu, sekarang terbaring lemah di tempat tidurnya karena sakit. Sakit yang tidak hanya menyakitkan raganya, tapi juga jiwanya. Karena sakit, dia tak bisa bertemu dengan murid-murid kesangannya. Dia tak bisa menikmati canda dan celotehan anak didiknya. Benar-benar tersiksa rasanya.
Seperti layaknya ikatan batin antata anak dan ibu, begitu pula yang terjadi antara guru dan para siswanya itu. Di kelas pun anak-anak itu merasa sepi dan kehilangan seorang ibu guru yang biasa hadir di antara mereka. Bahkan suasana itu terbawa pada situasi belajar mereka.
Saat pelajaran matematika, saat di mana dibutuhkan konsentrasi tinggi, tetapi malah terjadi kegaduhan itu. Saat teman-teman yang lain sibuk mengerjakan soal latihan yang membuat kepala pening, Didi malah iseng mencolek bahu Lala. Lala yang sedang berkutat dengan bilangan bulat, merasa terganggu dan marah.
"Apaan sih, Di? Gangguin aja! Aku sedang menghitung, nih. Sana pergi ke mejamu!" teriak Lala sengit.
"Aku kan, cuma mau pinjam penghapus, kenapa kamu galak begitu?" balas Didi tak kalah judes. Kedua anak itu memang terkenal sama-sama keras dan temperamen. Hasil pemanjaan orang tuanya.
"Kalau mau pinjam bicara yang baik, dong. Jangan ngagetin begitu!" teriak Lala sambil mendorong Didi supaya menjauh. Yang didorong bukannya menjauh, malah menjambak jilbab Lala. Lala pun tak mau kalah untuk menarik tangan Didi. Terjadilah perkelahian itu. Dan buyarlah konsentrasi seluruh kelas hari itu.
"Panggil Bu Siti!" teriak Feti. "Apa? Bu Siti kan, tidak masuk!" seru Neni.
Kacau sudah kelas Bu Siti hari itu.